24x3 H(OUR)S
Malam
yang indah dan teduh. Purnama nampak bertahta di langit, dikawal oleh berjuta
bintang. Di saung kecil berdinding anyaman bambu di depan Stasiun Tugu Jogja, kami
menunggu kedatangan teman-teman kami yang akan menjemput kami. “Tin...tin...”
Sebuah bus bertuliskan HIBA UTAMA menyapa kami, seakan meminta kami untuk masuk
ke dalamnya. Beberapa detik kemudian dari dalam bus itu muncul tiga cowok paruh
baya menghampiri kami, dan mengajak masuk ke dalam bus. Mereka adalah Fizi,
Dito, dan Ari.
Sesampainya
di bus, kami bergegas duduk manis di tempat yang telah disediakan. Bus yang
kami tumpangi segera capcus menuju tempat peristirahatan kami malam ini, rumah
Fizi. Bus kami berhenti di depan gapura besar ala zaman Belanda, halaman yang
luas, dikelilingi dengan pepohonan
raksasa, dan di atas gapura besar itu ada sinar bertuliskan “Wisma Sakinah”.
Dari
covernya saja kami sudah nggak yakin dengan kehadiran wisma ini. Akan tetapi,
apa salahnya mencoba? Mungkin saja cover yang ini gak seperti isinya. Dengan
terpaksa kami memasuki wisma itu. Suasana hening didukung dengan lampu kuning yang
memenuhi langit-langit wisma, lukisan-lukisan jaipong dengan mata melotot
menghiasi setiap sudut ruangan, sangkar burung tak berpenghuni, koridor-koridor
tak beratap, dan dua orang recepsionis yang datar tanpa ekspresi, membuat
tempat ini terkesan, ini wisma apa rumah hantu?. Ternyata isinya sama
seperti covernya, tidak meyakinkan. Tanpa membuang waktu, kami men-delete
wisma ini sebagai tempat peristirahatan kami. Dua buah rumah yang saling
bersebelahan dan tak bertuan rumah menarik perhatian kami untuk menyewanya.
Yap! Malam ini kami memutuskan untuk beristirahat di sini, villa kaki Gunung
Merapi.
Suara burung yang syahdu dan merdu mengringi
offroad kita pagi ini, jalan tak beraspal dipadu dengan roda mobil jeep yang
membal, menggoyang perjalanan kami menuju Puncak Merapi.
Status siaga 3 Merapi, melarang kami ke
Puncak Merapi. Larangan itu membuat kami membelokkan setir ke lereng Merapi,
kediaman sang juru kunci, Mbah Marijan. Awalnya kami tak ingin berlama-lama,
namun tanpa kami sadari, kami terhipnotis oleh pengalaman-pengalaman Beliau
menjadi juru kunci.
Tepat pukul 12.00 WIB, kami move on dari
Merapi ke Malioboro. Pasar Seng di sepanjang Jalan Malioboro menarik perhatian
kami, beberapa blangkon, sandal Jogja, kaos couple, batik Jogja banyak
tepampang di sana.
“Rek, beli baju couple yuk! Buat
kenang-kenangan kita” usul Tifa.
“Blangkon ajalah, biar kelihatan khas
Jogjanya” sahut Fari.
“Kalo blangkon tuh Cuma buat cowok doang,
mending kaoslah, kan bisa dipake cowok atau cewek” Tifa mengeluarkan argumennya.
“Tapi nggak kelihatan Jogjanya” Fari
mempertahankan usulannya.
“Yaudah sih, beli aja kaos yang gambar
Jogja, jadi kelihatankan? Gitu aja kok repot.” Fari kalah suara, usul Tifa pun
diterima.
Tiya yang ahli dalam bidang tawar-menawar
memulai aksinya. Kaos seharga Rp 50.000,00 berhasil ditawar menjadi Rp 20.000,00.
Harga murah, kualitas wah! Setelah puas bermain-main di Malioboro, kami kembali
ke villa bersiap-siap untuk acara api unggun nanti malam.
Suasana senyap, irama jangkrik mengalun
merdu, diiringi dengan desis angin malam menerpa dahan kurus pohon mangga.
“Cah, nyong ra betah nang kene.” Keluh Zukha
dengan logat ngapaknya.
“Iya..nyong he ya” sahut Zana nggak kalah ngapaknya.
“Rek, perasaanku gak tenang tau, gelisah
benget.” Iti ikut mengeluh.
“Terus kita mau pindah ke mana?” Tanya Aldi.
Pernyataan tadi mengheningkan suasana, tak
ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.
“Saatku tenggelam dalam sendu ....”
nada dering ponsel memecah keheningan.
“Siapa bro?” Tanya Adera.
“Nyokap, bentar-bentar gue angkat dulu.”
Fizi menempelkan ponsel di telinganya.
“Fizi!! Pokoknya kamu harus pulang malam ini
juga!” Suara di seberang ponsel terdengar jelas di tengah keheningan kami.
“Hah??? Kenapa emangnnya, Mah? Acaranya
belum selesai, Mah.” Jawab Fizi.
“Kamu tahu, Merapi dalam keadaan ‘awas’ mama
nggak mau kamu kenapa-kenapa. Pokoknya harus pulang malam ini juga.”
“Loh?! Mah, terus temen-temenku gimana?
Nggak mungkin aku tega ninggalin mereka gitu aja!”
“Yaudah ajak aja temen-temen kamu ke rumah,
pokoknya cepetan pulang!” telepon terputus.
Setelah
mendengar kabar dari mama Fizi, kami berkemas-kemas untuk pindah ke rumah Fizi.
Pergilah kami ke rumah Fizi. Angin
bertiup kencang, daun melambai. Langit menyala-nyala bagaikan lautan
api, suara gemuruh diiringi hujan pasir menghentikan perjalanan kami . Dari
kejauhan percikan lahar Merapi terlihat seperti kembang api tahun baru.
glontang, glontang,
glontang...
Suara pasir menghantam atap bus.
“Rek, gimana nih?” tanya Fikri kebingunan.
“Pulang...Mama...aaa!!!” Jerit tangis membuat keadaan semkain panik. “Diam!!”
teriak Ari, cetar membahana. “kalian itu percuma jerit-jerit gak jelas, baca
sholawat, minta perlindungan sama Allah!” lanjut Ari dengan bijak. Malam ini,
kami bermalam di bis, pasir yang melapisi jalan raya tidak memungkinkan kami
untuk meneruskan perjalanan ke rumah Fizi.
Semalam kami tidak tidur, khawatir dengan
keadaan setempat, terutama keadaan kami sendiri. Ponsel kami tidak berhenti
berdering, kepanikan orang tua akan keberadaan kami, membuat kami merasa
menyesal telah mengadakan acara ini.
Dari ufuk timur matahari mulai memancarkan
cahaya remangnya, lebatnya abu vulkanik mengalihkan mentari pagi.
“Mau kemana kita hari ini? Cuma berdiam diri
di dalam bis?” ketus Yatul. “ Mau gimana lagi?” jawab Ofa pasrah. “ Jauh-jauh
gue ke sini, ternyata cuma berdiam diri di dalam bis, kalau kaya gini di
Jakarta juga bisa”. Ucapan Yatul tadi membuat kita berfikir, gak mungkin banget
kita menghabiskan waktu liburan dengan berdiam diri, waktu hanya akan terbuang
sia-sia.
“Rek, lihat ke belekang sana!” Adera
menunjuk ke arah belakang bis.Disana terdapat tenda bertuliskan “POSKO
PENGUNGSIAN MERAPI”
“Paham maksud gue gak?” Lanjut Adera.
“Gue paham” Jawab Lifa meyakinkan.
“Yang lainnya gimana?” Pandangan Adera
kearah kami.
“Kemarinkan kita udah seneng-seneng,
sekarang giliran kita berbagi kesenangan bersama mereka” Jelas Adera dengan
bahasa majasnya.
Kami mengangguk mantap menandakan bahwa kami
paham maksud tersirat adera.
Dengan mulut yang dibungkus masker, mata
yang dilndungi kacamata hitam, kami berjalan menuju posko. 11 kardus kardus
sembako yang kami kumpulkan dari sisa uang jajan kami berhasil mengembangkan
senyum mereka. Ucapan terimakasih dari raut wajah mereka membuat batin kami
terasa lega. “ Alhamdulillah, mereka bisa tersenyum kembali”
Segenting apapun keadaan
yang kami jalani, akan terasa mudah jika kami menjalaninya bersama-sama. Saling
menguatkan satu sama lain. Karena...
“TOGETHER WE ARE STRONGER”
ayo... tambah lagi isinya...
BalasHapus