Jumat, 27 Februari 2015

Cerpen EL-EVENTH



24x3 H(OUR)S


            Malam yang indah dan teduh. Purnama nampak bertahta di langit, dikawal oleh berjuta bintang. Di saung kecil berdinding anyaman bambu di depan Stasiun Tugu Jogja, kami menunggu kedatangan teman-teman kami yang akan menjemput kami. “Tin...tin...” Sebuah bus bertuliskan HIBA UTAMA menyapa kami, seakan meminta kami untuk masuk ke dalamnya. Beberapa detik kemudian dari dalam bus itu muncul tiga cowok paruh baya menghampiri kami, dan mengajak masuk ke dalam bus. Mereka adalah Fizi, Dito, dan Ari.
            Sesampainya di bus, kami bergegas duduk manis di tempat yang telah disediakan. Bus yang kami tumpangi segera capcus menuju tempat peristirahatan kami malam ini, rumah Fizi. Bus kami berhenti di depan gapura besar ala zaman Belanda, halaman yang luas, dikelilingi dengan  pepohonan raksasa, dan di atas gapura besar itu ada sinar bertuliskan “Wisma Sakinah”.
            Dari covernya saja kami sudah nggak yakin dengan kehadiran wisma ini. Akan tetapi, apa salahnya mencoba? Mungkin saja cover yang ini gak seperti isinya. Dengan terpaksa kami memasuki wisma itu. Suasana hening didukung dengan lampu kuning yang memenuhi langit-langit wisma, lukisan-lukisan jaipong dengan mata melotot menghiasi setiap sudut ruangan, sangkar burung tak berpenghuni, koridor-koridor tak beratap, dan dua orang recepsionis yang datar tanpa ekspresi, membuat tempat ini terkesan, ini wisma apa rumah hantu?. Ternyata isinya sama seperti covernya, tidak meyakinkan. Tanpa membuang waktu, kami men-delete wisma ini sebagai tempat peristirahatan kami. Dua buah rumah yang saling bersebelahan dan tak bertuan rumah menarik perhatian kami untuk menyewanya. Yap! Malam ini kami memutuskan untuk beristirahat di sini, villa kaki Gunung Merapi.
Suara burung yang syahdu dan merdu mengringi offroad kita pagi ini, jalan tak beraspal dipadu dengan roda mobil jeep yang membal, menggoyang perjalanan kami menuju Puncak Merapi.
Status siaga 3 Merapi, melarang kami ke Puncak Merapi. Larangan itu membuat kami membelokkan setir ke lereng Merapi, kediaman sang juru kunci, Mbah Marijan. Awalnya kami tak ingin berlama-lama, namun tanpa kami sadari, kami terhipnotis oleh pengalaman-pengalaman Beliau menjadi juru kunci.
Tepat pukul 12.00 WIB, kami move on dari Merapi ke Malioboro. Pasar Seng di sepanjang Jalan Malioboro menarik perhatian kami, beberapa blangkon, sandal Jogja, kaos couple, batik Jogja banyak tepampang di sana.
“Rek, beli baju couple yuk! Buat kenang-kenangan kita” usul Tifa.
“Blangkon ajalah, biar kelihatan khas Jogjanya” sahut Fari.
“Kalo blangkon tuh Cuma buat cowok doang, mending kaoslah, kan bisa dipake cowok atau cewek” Tifa mengeluarkan argumennya.
“Tapi nggak kelihatan Jogjanya” Fari mempertahankan usulannya.
“Yaudah sih, beli aja kaos yang gambar Jogja, jadi kelihatankan? Gitu aja kok repot.” Fari kalah suara, usul Tifa pun diterima.
Tiya yang ahli dalam bidang tawar-menawar memulai aksinya. Kaos seharga Rp 50.000,00 berhasil ditawar menjadi Rp 20.000,00. Harga murah, kualitas wah! Setelah puas bermain-main di Malioboro, kami kembali ke villa bersiap-siap untuk acara api unggun nanti malam.
Suasana senyap, irama jangkrik mengalun merdu, diiringi dengan desis angin malam menerpa dahan kurus pohon mangga.
“Cah, nyong ra betah nang kene.” Keluh Zukha dengan logat ngapaknya.
“Iya..nyong he ya” sahut Zana nggak kalah ngapaknya.
“Rek, perasaanku gak tenang tau, gelisah benget.” Iti ikut mengeluh.
“Terus kita mau pindah ke mana?” Tanya Aldi.
Pernyataan tadi mengheningkan suasana, tak ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Saatku tenggelam dalam sendu ....” nada dering ponsel memecah keheningan.
“Siapa bro?” Tanya Adera.
“Nyokap, bentar-bentar gue angkat dulu.” Fizi menempelkan ponsel di telinganya.
“Fizi!! Pokoknya kamu harus pulang malam ini juga!” Suara di seberang ponsel terdengar jelas di tengah keheningan kami.
“Hah??? Kenapa emangnnya, Mah? Acaranya belum selesai, Mah.” Jawab Fizi.
“Kamu tahu, Merapi dalam keadaan ‘awas’ mama nggak mau kamu kenapa-kenapa. Pokoknya harus pulang malam ini juga.”
“Loh?! Mah, terus temen-temenku gimana? Nggak mungkin aku tega ninggalin mereka gitu aja!”
“Yaudah ajak aja temen-temen kamu ke rumah, pokoknya cepetan pulang!” telepon terputus.
            Setelah mendengar kabar dari mama Fizi, kami berkemas-kemas untuk pindah ke rumah Fizi. Pergilah kami ke rumah Fizi. Angin  bertiup kencang, daun melambai. Langit menyala-nyala bagaikan lautan api, suara gemuruh diiringi hujan pasir menghentikan perjalanan kami . Dari kejauhan percikan lahar Merapi terlihat seperti kembang api tahun baru.
glontang, glontang, glontang... Suara pasir menghantam atap bus.
“Rek, gimana nih?” tanya Fikri kebingunan.
“Pulang...Mama...aaa!!!” Jerit tangis  membuat keadaan semkain panik. “Diam!!” teriak Ari, cetar membahana. “kalian itu percuma jerit-jerit gak jelas, baca sholawat, minta perlindungan sama Allah!” lanjut Ari dengan bijak. Malam ini, kami bermalam di bis, pasir yang melapisi jalan raya tidak memungkinkan kami untuk meneruskan perjalanan ke rumah Fizi.
Semalam kami tidak tidur, khawatir dengan keadaan setempat, terutama keadaan kami sendiri. Ponsel kami tidak berhenti berdering, kepanikan orang tua akan keberadaan kami, membuat kami merasa menyesal telah mengadakan acara ini.
Dari ufuk timur matahari mulai memancarkan cahaya remangnya, lebatnya abu vulkanik mengalihkan mentari pagi.
“Mau kemana kita hari ini? Cuma berdiam diri di dalam bis?” ketus Yatul. “ Mau gimana lagi?” jawab Ofa pasrah. “ Jauh-jauh gue ke sini, ternyata cuma berdiam diri di dalam bis, kalau kaya gini di Jakarta juga bisa”. Ucapan Yatul tadi membuat kita berfikir, gak mungkin banget kita menghabiskan waktu liburan dengan berdiam diri, waktu hanya akan terbuang sia-sia.
“Rek, lihat ke belekang sana!” Adera menunjuk ke arah belakang bis.Disana terdapat tenda bertuliskan “POSKO PENGUNGSIAN MERAPI”
“Paham maksud gue gak?” Lanjut Adera.
“Gue paham” Jawab Lifa meyakinkan.
“Yang lainnya gimana?” Pandangan Adera kearah kami.
“Kemarinkan kita udah seneng-seneng, sekarang giliran kita berbagi kesenangan bersama mereka” Jelas Adera dengan bahasa majasnya.
Kami mengangguk mantap menandakan bahwa kami paham maksud tersirat adera.
Dengan mulut yang dibungkus masker, mata yang dilndungi kacamata hitam, kami berjalan menuju posko. 11 kardus kardus sembako yang kami kumpulkan dari sisa uang jajan kami berhasil mengembangkan senyum mereka. Ucapan terimakasih dari raut wajah mereka membuat batin kami terasa lega. “ Alhamdulillah, mereka bisa tersenyum kembali”
Segenting apapun keadaan yang kami jalani, akan terasa mudah jika kami menjalaninya bersama-sama. Saling menguatkan satu sama lain. Karena...
“TOGETHER WE ARE STRONGER”







1 komentar: